Di era digital yang serba cepat ini, akses terhadap informasi publik bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi sudah menjadi hak dasar setiap warga negara. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menikmatinya.
Penyandang disabilitas, misalnya, kerap menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses layanan digital, mulai dari situs yang tidak ramah disabilitas hingga video tanpa teks dan navigasi yang sulit digunakan.
Kini, kesadaran bahwa keadilan digital adalah bagian dari keadilan sosial mulai tumbuh. Pemerintah, lembaga publik, dunia usaha, dan warga sedulur Banten perlu saling bahu-membahu memastikan bahwa transformasi digital tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Membangun Akses yang Setara di Dunia Digital
Dalam konstitusi kita, tepatnya Pasal 28F UUD 1945, dijelaskan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui saluran apa pun yang tersedia.
Artinya, tidak ada pembeda antara warga negara berdasarkan kondisi fisik, ekonomi maupun sosial.
Prinsip ini semakin dikuatkan dengan lahirnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menjamin hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam format yang mudah diakses, seperti bahasa isyarat, tulisan braille, atau media berbasis audio.
Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, kesetaraan ini belum sepenuhnya terwujud. Banyak platform layanan publik masih berorientasi pada tampilan visual, tanpa mempertimbangkan keberagaman kemampuan penggunanya.
Inilah tantangan besar yang harus segera dijawab bersama
Mewujudkan Digitalisasi yang Ramah Semua Kalangan
Upaya mewujudkan layanan informasi publik yang inklusif membutuhkan kerja sama lintas sektor.
Pemerintah memiliki peran utama dalam menetapkan standar aksesibilitas digital dan memastikan setiap lembaga publik, baik pusat maupun daerah, menerapkannya secara konsisten.
Penyusunan standar ini bisa dibagi ke dalam beberapa tingkat, mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan, agar setiap instansi dapat menyesuaikan kapasitas teknologinya.
Lebih penting lagi, perlu adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang melibatkan warga sedulur Banten serta komunitas disabilitas sebagai bagian dari proses perbaikan berkelanjutan.
Selain itu, kanal pengaduan publik seperti SP4N Lapor perlu dikembangkan agar lebih ramah terhadap berbagai kebutuhan pengguna.
Dengan begitu, setiap warga sedulur Banten, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau sensorik, dapat menyampaikan keluhan atau aspirasi tanpa hambatan teknis.
Tantangan dalam Membangun Aksesibilitas Digital
Kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai tantangan di lapangan. Peningkatan akses digital untuk semua kalangan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran, komitmen, dan empati.
Beberapa tantangan utama yang perlu diatasi antara lain:
Tantangan-tantangan ini seharusnya menjadi pemicu untuk bergerak lebih cepat. Digitalisasi yang tidak inklusif hanya akan memperlebar kesenjangan informasi antar warga negara.
Inklusi Digital: Bukan Sekadar Teknologi, Tapi Kemanusiaan
Ketika kita berbicara tentang digitalisasi, banyak yang langsung membayangkan kemajuan teknologi.
Padahal, esensi sejatinya bukan sekadar kemajuan alat, melainkan kemajuan manusia. Teknologi yang tidak inklusif hanyalah kemajuan yang timpang.
Bayangkan seseorang dengan keterbatasan penglihatan yang ingin mengakses informasi layanan kesehatan di situs pemerintah, tetapi tidak dapat membaca isi laman karena tidak kompatibel dengan pembaca layar.
Atau warga tunarungu yang tidak dapat memahami isi video sosialisasi karena tidak tersedia teks terjemahan.
Situasi semacam ini memperlihatkan bahwa masih ada jarak antara kemajuan digital dan keadilan sosial.
Mewujudkan aksesibilitas digital adalah bentuk nyata dari penghormatan terhadap martabat manusia.
Ia memastikan bahwa setiap warga negara, siapa pun dia, dalam kondisi apa pun, memiliki hak yang sama untuk mengetahui, berpartisipasi, dan mengambil keputusan atas dasar informasi yang setara.
Kunci Menuju Layanan Publik yang Inklusif
Mewujudkan Indonesia yang inklusif tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Pemerintah memang memiliki peran utama, tetapi dukungan dari berbagai lapisan masyarakat sangat diperlukan.
Wujudkan Ruang Digital yang Setara
Transformasi digital inklusif bukan sekadar program pemerintah atau proyek teknologi, melainkan gerakan bersama menuju keadilan informasi.
Setiap individu, komunitas, dan lembaga memiliki peran dalam memastikan bahwa dunia digital menjadi ruang yang dapat diakses oleh siapa pun.
Kita bisa mulai dari langkah sederhana: meningkatkan kesadaran, memperhatikan kebutuhan orang lain, dan menggunakan teknologi dengan empati.
Ketika kesetaraan menjadi nilai bersama, perubahan akan terjadi secara alami dan berkelanjutan.Tidak perlu menunggu kebijakan besar untuk berbuat baik.
Setiap tindakan kecil, seperti menyediakan teks dalam video, mendesain situs yang mudah dibaca, atau sekadar memberi ruang bagi kelompok disabilitas untuk bersuara, merupakan bagian penting dari perjuangan menuju dunia digital yang adil.
Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari seberapa cepat ia bertransformasi secara digital, tetapi seberapa luas ia memberi ruang bagi seluruh rakyatnya untuk ikut serta di dalamnya.
Akses informasi digital yang inklusif bukanlah belas kasihan, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Ini adalah cermin dari peradaban yang beradab, yang menempatkan keadilan, kesetaraan, dan empati sebagai fondasi utama pembangunan.
Kini saatnya Indonesia melangkah lebih jauh: dari sekadar digitalisasi menuju digitalisasi yang berkeadilan.
Karena dalam dunia yang serba terkoneksi, tidak ada alasan satu pun untuk membiarkan siapa pun tertinggal.
Rijal Al Ghifari/MGNG
Sumber: indonesia.go.id